Rabu, 16 Oktober 2013

Pengembangan Biofuel Si Miskin vs Si Kaya

Jika tidak direncanakan secara sitematis dan komprehensif, pengembangan biofuel dapat menjadi ajang rebutan antara lebih dari 2 miliar penduduk miskin untuk memperoleh makanan melawan 800 juta mobil dan jutaan mesin untuk biofuel. Esensinya, ini adalah rebutan antara Si Miskin melawan Si Kaya, yang pemenangnya mudah ditebak.

Harga minyak bumi (BBM) akhir-akhir ini terus meroket dan sudah menembus diatas US$ 70 per barrel. Di tambah dengan gejolak di Timur Tengah, berbagai ketegangan politik di berbagai negara, serta cadangan BBM yang juga semakin menipis, harga BBM yang tinggi sepertinya harus kita terima sebagai suatu kenyataan; yang bisa dilakukan adalah mensiasati kenyataan tersebut dengan respon/strategi yang kreatif, tanpa harus menimbulkan masalah-masalah baru pada masa mendatang.

Gencarnya peningkatan produksi minyak berbahan baku produk pertanian atau nabati (biofuel) dinilai merupakan salah satu respon yang bijaksana. Di samping bersifat renewable , strategi tersebut mempunyai banyak dampak posistif seperti ramah lingkungan, berbahan baku sumberdaya domestik, membuka lapangan kerja baru di pedesaan, sampai dengan argumen ketahanan energi untuk negara. Sejalan dengan kecenderungan ini, tidak salah kalau pemerintah Indonesia secara gencar merencanakan dan melaksanakan berbagai program untuk secara bertahap meningkatkan produksi biofuel dengan bahan baku CPO dan minyak jarak.

Strategi pengembangan biofuel sudah merupakan strategi gobal, bahkan sudah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada saat tersebut, harga BBM meningkat tajam sehingga negara importir menganggapnya sebagai suatu krisis BBM. Brazil dan juga Amerika Serikat merupakan contoh negara yang mempelopori pegembangan biofuel untuk merespon krisis tersebut. Namun, ketika harga minyak melemah, program tersebut mengalami stagnasi seperti yang terjadi tahun 1990-an. Ketika sekarang harga minyak melambung, semua negara seperti disadarkan untuk kembali mengembangkan biofuel.

Secara global, ada beberapa bahan baku untuk menghasilkan biofuel. Untuk bioethanol, bahan baku yang sudah lama dikenal bersumber dari tebu dan beet. Untuk biodiesel, bahan baku yang digunakan adalah CPO, minyak kelapa, minyak kedele, dan reep seed . Secara ekonomis, jika harga minyak terus tinggi, biofuel tersebut akan kompetitif. Sebagai contoh, Brazil memproduksi ethanol dengan biaya produksi hanya US$ 0.16/liter atau sekitar US$ 26 per barrel. Amerika serikat dengan bahan baku jagung dapat memproduksi ethanol, walau belum efisien, dengan biaya produksi US$ 59 per barrel barrel. Negara-negara Eropa barat maupun Indonesia dan Malaysia diperkirakan dapat memproduksi biofuel dengan biaya produksi lebih mahal dari Brazil namun dibawah biaya produksi Amerika Serikat. Dengan demikian, jika harga minyak diatas US$ 60 per barrel, hampir semua negara akan kompetitif untuk memproduksi biofuel.

Dari sudut efisiensi energi yang dihasilkan, biofuel termasuk efisien walau ada variasi yang lebar. Biofuel berbahan baku tebu termasuk yang paling efisien dalam menghasilkan energi. Dalam hal ini, untuk satu unit energi yang digunakan, biofuel berbahan baku tebu menghasilkan 8 unit energi. Biofuel berbahan baku beet dan jagung masing-masing menghasilkan 1.9 dan 1.5 unit energi, untuk setiap satu unit energi yang digunakan untuk proses produksi.

Jika dari berbagai faktor tadi sangat mendukung pengembangan industri biofuel, maka produk pertanian akan ada di persimpangan jalan, yaitu mau diproses menjadi makanan ( food ) atau bahan bakar minyak ( fuel ). Kedua produk tersebut sangat strategis bahkan diyakini akan semakin strategis pada dekade-dekade mendatang. Salah satu inti sari dari situasi ini adalah menempatkan kembali sektor pertanian ke posisi yang semakin strategis pada masa mendatang. Sektor pertanian tidak lagi menjadi sektor yang dimarjinalkan, tetapi akan menjadi salah satu sektor yang menentukan nasib suatu bangsa.

Situasi tersebut secara umum akan berdampak positif pada kinerja sektor pertanian. Produk pertanian kini melayani dua permintaan yaitu dari pasar tradisional yaitu industri makanan, pakan, dan sandang dan industri biofuel. CPO bisa dijual ke industri minyak goreng yang berakhir di supermarket atau ke industri biofuel yang berakhir di SPBU. Tebu bisa berakhir di pasar dalam bentuk gula atau berakhir di SPBU dalam bentuk bioethanol.

Bagi sektor pertanian, perluasan pasar tersebut tentu akan berdampak positif. Perluasan pasar tersebut jelas akan memberi tekanan pada kenaikan harga serta stabilitas harga produk pertanian. Situasi ini berpotensi untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian termasuk peningkatan pendapatan petani. Dalam jangka pendek, perluasan pasar ini akan mampu mengurangi surplus produksi produk-produk pertanian di pasar internasional.

Di sisi lain, situasi ini berpotensi untuk memperburuk situasi ketahanan pangan, apalagi bagi negara-negara yang net-importir dalam pangan atau negara-negara yang jumlah penduduknya relatif banyak. Kenaikan harga pangan juga berdampak negatif terhadap penduduk miskin yang di dunia jumlahnya lebih dari 2 miliar orang. Indonesia termasuk kelompok negara tersebut, karena jumlah penduduknya relatif besar, jumlah penduduk miskinnya juga termasuk tinggi, dan masih banyak mengimpor bahan pangan yang dapat diolah menjadi biofuel seperti gula, kedele, dan jagung.

Jika situasi tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka secara global, akan terjadi ”perkelahian” lebih dari 2 miliar penduduk miskin di dunia untuk memperoleh makanan dengan 800 juta mobil dan jutaan mesin/pabrik. Pada dasarnya, ini adalah rebutan antara 2 miliar Si Miskin melawan Si Kaya yang meliki mobil dan pabrik/mesin. Untuk Indonesia, situasi ini bisa menjadi ajang rebutan antara sekitar 30 juta penduduk miskin dengan pemilik mobil dan mesin di Indonesia. Kekhawatiran yang muncul adalah karena yang miliki mobil dan mesin adalah mereka yang lebih kuat, baik dari sisi ekonomi, sosial, dan politik, mereka akan dapat memenangkan perebutan tersebut, dimulai dengan menggunakan cara yang paling halus dan logis, sampai dengan yang yang ”kasar” melalui berbagai rekayasa ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Korbannya jelas Si Misksin yang justru dibuatnya semakin kelaparan, karena akses terhadap pangan akan semakin sulit serta harga pangan yang meningkat.

Dampak negatif lain yang perlu diantisipasi terhadap siatuasi ini adalah percepatan degradasi lahan. Kecenderungan global untuk mempercepat pengembangan industri biofuel jelas akan memberi insentif untuk peningkatan produksi pertanian. Ini berarti, perluasan lahan pertanian tampaknya tidak dapat dihindarkan. Jika tidak upaya-upaya pemerintah untuk mengendalikan perluasan tersebut, penebangan hutan untuk perluasan lahan pertanian akan semakin mengkhawatirkan. Situasi ini tentu akan sangat membahayakan kondisi lingkungan Indonesia yang sudah sangat-sangat kritis. Banjir, longsor, kebakaran hutan, kabut asap, silih berhanti yang menimpa Indonesia, merupaskan indikator kritisnya kondisi lingkungan di Indonesia..

engembangan industri biofuel jelas merupakan suatu peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki kinerja sektor pertanian, termasuk nasib petaninya, serta perekonomian Indonesia secara nasional. Namun demikian, jika tidak direncanakan dengan sistematis dan komprehensif dengan wawasan jauh kedepan, peluang tersebut dapat menjadi sumber bencana baru bagi rakyat miskin, ketahan pangan, dan degredasi lingkungan. Mumpung masih dalam posisi baru dimulai, pemerintah seyogyanya segera menyusun blue print yang komprehensif, bukan ”asal blue print ” yang disusun secara terburu-buru, sekedar memenuhi syarat administratif dan sudah dianggap antisipatif. Kalau sudah punya yang memang benar-benar komprehensif, syukurlah, kita tinggal menunggu realisasinya.

Sumber :
Wayan R. Susila
Peneliti di Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI)
http://www.ipard.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 

Copyright © Informasi terbaru Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger